Gimana rasanya tau tau udah mau masuk 2022? Yeps, kurang dari 100 hari lagi tepatnya. Lalu harapannya apa? Banyak dwong pastinya, haha, tapi sebelum itu mari kita sedikit curhat colongan soal drama umum yang dihadapi mak mak bekerja : finding the right ART. Saya mungkin agak sedikit telat mengalami ini karena di usia pernikahan yang masuk tahun ke 9 baru drama ART muncul dan jelas menyita waktu. Semua bermula ketika varian delta menyeruak dan tiba tiba postingan duka "innalillahi" sering muncul di grup whatsapp atau story.
Pertengahan
Agustus kemarin, ibu ART yang sudah 5 tahun ikut saya pun tiba tiba
mengalami gejala yang super duper mengarah ke virus covid varian delta.
sedihnya, keluarganya tidak mendukung proses tracing sama sekali. Mereka
dengan tegas menolak swab dan segala treatment antisipasi. Saya sempat
stres dan mikir, lha ya, koq setega itu sama si ibu. Tapi ujung ujungnya
saya menyerah karena : tetep aja yang punya hak kan suami dan
keluarganya. Singkat kata si ibu sakit parah dan tidak masuk selama 3
minggu. Setelah saya konfirmasi kembali, ternyata hingga 3 minggu
terlewati kondisinya belum pulih total dan suami beliau akhirnya
mengijinkan saya mencari ART pengganti.
Hunting
dimulai dengan tanya sana sini, posting di grup loker Facebook dan pastinya banyak backup plan. Kondisinya saya ada anak bayi dan si kakak yang (waktu itu)
masih sekolah daring. Saya pun masih sering WFH. Masalahnya kita perlu
memetakan segala resiko agar bisa bertahan tanpa ART
ketika harus WFO ke kantor. Saya memulai survival guide saya dari hal -
hal dibawah ini selama 3 minggu tanpa ART :
1. Menemukan Daycare
Ini esensial banget karena pegang bayi. Beruntung adek dapet daycare yang bisa sekaligus babyclass. Bayar agak lebih yang penting adek aman dan punya dunia baru yang jelas lebih terarah. Sebenarnya menemukan daycare sama seperti menemukan sekolah. Kalau mau 100 persen sesuai mahzab kita - ya jelas nggak akan ada. Mentok paling mendekati visi kita, lalu aman, bersih dan terakhir : nggak overbudget, hehe. Saya tidak memberi judgement ke ibu ibu yang jelas ingin memberi hal terbaik buat anaknya, apalagi untuk hal hal yang dianggap penting. Tapi buat saya pribadi, realistis itu perlu. Menyesuaikan keadaan dan kemampuan. This is why I told you : having children isn't for everyone. Punya anak tuh selain butuh tanggung jawab besar juga menuntut kita untuk terus tumbuh dan belajar, termasuk belajar menerima kenyataan, wkwk.
2. Membagi Tugas
Ini kayaknya udah nggak perlu dijelasin lagi. Dibagi sama siapa dunks? Sesuai jawaban normatif waktu kita (yakali kita ketauan angkatan berapa) belajar PPKn waktu SD : seluruh anggota keluarga. Jangan sampai si ibu tepar karena tidak sanggup menghadapi gempuran pekerjaan rumtang. Jarak si kakak dan adek yang agak jauh itu ternyata membantu sekali soal urusan pekerjaan rumah. Si kakak yang udah kelas dua SD bisa bantu bantu housework seperti : menyapu, mengepel, masak mie, bikin telur goreng, bikin minum, etc. Suami juga berbagi load pekerjaan yang sama dengan saya. Jadi kalau ada yang bilang perempuan feminis cenderung tidak mau menikah - wah itu salah besar, hahaha. I am a feminist, I was raised to be one. Kami punya paham yang sama bahwa berbagi tugas rumah tangga itu wajar dan nggak ada hubungannya sama gender. Menurut saya pribadi, saya akan lebih yakin menikah bila ketemu dengan orang yang perspektifnya sama soal tanggung jawab pernikahan, termasuk soal pekerjaan rumah tangga dan anak.
3. Menurunkan Standar dan Kepanikan
Sekarang ditentukan dulu, standarnya standar siapa? Seperti apa? Kalau sekelas foto foto ciamik rumah di Pinterest jelas itu fana, hahaha. Saya pribadi berusaha stick di level : bersih dulu, soal rapi itu next chapter. Karena di rumah bocil bocil jelas akan membuat kekacauan. Saya sering membiarkan beberapa benda tidak rapi ketika malam hari dan memilih tidur daripada saya stres dan kecapekan. Tapi tetap diupayakan pada porsi aman. Contoh yang bisa pending proses merapikannya : mainan berserakan, buku, benda benda anak. Kalau yang wajib di benerin langsung (meskipun belum dikerjakan maksimal) : piring gelas kotor wajib ditaruh dulu di dapur, baju kotor wajib ditaruh keranjang, sisa remah remah makanan wajib disapu dulu (ngepel bisa disesuaikan) dan beberapa kerjaan urgent lain.
4. Iron Problem!
Kayaknya hampir semua ibu
ibu bermasalah sama setrika, kecuali Jennifer Bachdim, wkwkwk. Saya
beneran amazed pas liat dia nyetrika santai di vlognya, the way she
ironed the clothes was beyond. Well, pastinya saya mengapresiasi para ibu yang standar setrikanya luar biasa. Untuk saya pribadi, udahlah,
mengibarkan bendera putih aja. Tips bertahan di tengah gempuran baju bisa
dimulai dengan 4 hal : beli mesin cuci dan setrika yang "agak bagus", beli gantungan
baju yang banyak, pakai pewangi yang oke dan setrika seperlunya.
Definisi seperlunya tuh yang gimana? Dimulai yang urgent dulu seperti :
seragam, batik, kaos yang bahannya gampang kucel, dll. Intinya pinter
pinter milih aja sih biar hemat tenaga dan pastinya hemat listrik juga. Kalau bener bener nggak kuat ada juga solusi praktis setrika kiloan yang ada di laundry. Sepengetahuan saya sudah banyak laundry yang menawarkan jasa setrika saja (tanpa cuci). Praktis dan dapat disesuaikan sesuai kebutuhan.
5. Rajin Hunting Promo Codes
Saya nggak paham teori menawar, sama sekali nggak tega, hahaha. Instead of nawar ketika belanja di pasar tradisional, saya lebih sering hunting promo codes groceries di aplikasi seperti klikindomaret atau mysuperindo (di PlayStore). Kalau nggak sempat groceries shopping saya memilih hunting promo makanan delivery via grabfood atau shopeefood atau justru sekalian ke warung makan yang bisa takeaway sayur dan lauk pauk. Artinya sebisa mungkin dicari solusi ketika tidak bisa memasak di rumah. Selama semua sehat dan nggak drama kelaparan, itu sebenarnya sudah meringankan beban mental ibu dalam proses penyediaan makanan di rumah. Saya udah sedikit sharing soal menyediakan frozen food praktis di postingan sebelumnya.
6. Berusaha Tetap Sehat dan Bertahan
Ini yang susah kadang, karena nggak bohong dong pasti ada capeknya, stresnya atau apalah. Kalau udah kayak gitu pasti ingetnya cuma satu kalimat : this too shall pass. Anak anak kita nggak akan kecil selamanya. Ada fasenya nanti jadi gede dan nggak acak acak rumah lagi. Meskipun nantinya juga pasti muncul problem lain selain acak acak rumah (ya iyalah, hehe), tapi berpikir demikian membantu saya untuk lebih santai dan cherishing every moment. Hidup kenyataannya memang tidak seserius itu, dengan atau tanpa ART.
Lalu endingnya apakah saya akhirnya ketemu ART lagi? Jawabannya iya, tepatnya pertengahan September kemarin.
Tapi
sekarang beliau sudah quit setelah 2 minggu bekerja, haha. Pecah rekor ART terkilat di ART ketiga, karena ART pertama saya pun 3 tahun lamanya. Sebenarnya saya merasa semua baik baik saja ketika dia bilang mau kerja
meskipun ada anak balita yang (katanya) diasuh neneknya. Eh ujung
ujungnya dia berhenti dengan alasan ngurus anak. Gemes banget tau,
kenapa ribut cari kerjaan kalau akhirnya cabut? Balik lagi, dinamika
hidup ya seperti itu. Ngomel pun nggak akan ada gunanya. What do I do
now? Back on track lah, hehe, cek nomor 1 sampai 6 diatas.
Apa
kepikiran hunting ART lagi? Untuk sekarang sepertinya enggak. Kalo pas nemu yang cocok dan baik boleh lah berbagi rezeki buat hiring ART. Karena
akhirnya saya menemukan sebuah konklusi bahwa : segala kebaikan atau
sesuatu yang kita upayakan untuk ART tidak akan berkorelasi positif
dengan tingkat loyalitasnya. Jadi santai aja. Kalau pun drama itu sudah
bagian hidup, nggak peduli sebaik apa usaha kita atau seberapa besar
gaji dia. ART juga manusia, ada limitnya, punya perasaan juga.
Semangat buat Buk Ibuk semuanya, love yourself in and out.
No comments:
Post a Comment